Mengetahui Bisnis Franchise

Posted by Famartha Land 30 August 2010



Investor Indonesia memang agresif. Ketika produk perbankan seperti tabungan dan deposito tidak lagi memberi imbal yang menarik, mereka mengalirkan dana ke tempat lain yang dianggap lebih menguntungkan. Sejumlah produk investasi seperti reksa dana, saham dan obligasi menjadi sasaran. Begitu juga wahana lain, seperti tanah, rumah, ruko dan apartemen. Bahkan, tak sedikit investor yang menubruk tawaran berisiko sangat tinggi hanya karena iming-iming menggiurkan. Padahal, cerita amblasnya dana nasabah di tangan pengelola yang berani obral janji seperti itu sudah berulang terdengar. Sepertinya, para investor tak pernah mau belajar dari pengalaman.

Bisnis franchise? Inilah model bisnis yang dalam 10 tahun terakhir menyihir banyak pemilik modal, terutama mereka yang ingin terjun menjadi entrepreneur tanpa mau repot merintis dari nol. Waralaba sangat digandrungi para pensiunan, istri pejabat, artis, dan anak-anak muda yang bisa pinjam modal orang tua untuk memulai bisnis. Tingginya minat akan bisnis waralaba antara lain terlihat dari antusiasnya pengunjung dalam setiap kali pameran franchise, juga laris manisnya seminar dan buku-buku bertemakan franchise. SWA yang sering mengupas topik ini harus meladeni banyak pertanyaan melalui e-mail dari pembaca yang ingin tahu lebih jauh tentang pengusaha-pengusaha franchise yang pernah ditampilkan.

Fakta memperlihatkan dari tahun ke tahun jumlah investor yang mengalirkan modal ke bisnis franchise terus bertambah, yang ditunjukkan oleh peningkatan jumlah gerai waralaba, baik lokal maupun asing. Meski belum ada pihak berkompeten yang menyajikan data nilai investasi, melalui perhitungan sederhana, yaitu dengan mengalikan jumlah gerai masing-masing franchise (lokal dan asing) dengan dana yang diperlukan untuk investasi masing-masing gerai, akan mudah diperoleh angka perkiraan. Berdasarkan perhitungan seperti itu, diperoleh angka fantastis sebesar Rp 5 triliun dana yang tersalurkan ke investasi franchise sampai 2006. Jumlah ini belum termasuk nilai investasi di bisnis lisensi dan keagenan yang tentunya tak kalah fantastis.

Dari angka Rp 5 triliun tadi, separuh lebih, yaitu Rp 3 triliun, tersalur ke investasi franchise lokal dan Rp 2 triliun ke franchise asing. Jika diamsusikan perbandingan kepemilikan gerai antara franchisor dan franchisee (investor) 70:30, diperkirakan dana franchisee yang terbenam di bisnis ini mencapai Rp 1,5 triliun.

Masalahnya, seperti halnya penanaman modal di bisnis lain, investasi di franchise pun tak kalis dari risiko. Memang cukup banyak investor franchise yang berhasil, yang 10 tahun lalu bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa, kini menjadi miliuner yang menguasai sejumlah gerai waralaba. Sebaliknya, meski jarang terpublikasi, tidak sedikit pula investor yang gagal di tengah jalan. Fenomena di sekitar kita memperlihatkan banyaknya gerai waralaba yang tutup, apakah itu di bidang resto, salon, kedai burger, toko buku, laundry, ritel, hingga lembaga pendidikan, dari yang berskala besar hingga kecil, dari yang mampu bertahan dalam beberapa tahun hingga yang beroperasi hanya dalam hitungan bulan. Namun seperti bunyi pepatah, bisnis franchise ini patah tumbuh hilang berganti, selalu menghadirkan franchisor dan franchisee baru.

Amir Karamoy, Ketua Waralaba dan Lisensi Indonesia yang juga pemilik Konsultan AK & Partners, mencatat rata-rata pertumbuhan bisnis franchise lokal mencapai 8%-9% per tahun, sedangkan franchise asing 12%-13%. Namun, perbedaan tingkat kegagalan keduanya sangat mencolok: menurut catatan Amir, berkisar 50%-60% untuk franchise lokal dan hanya 2%-3% untuk franchise asing. Jika catatan Amir akurat, dari total investasi waralaba lokal yang mencapai Rp 3 triliun, separuh lebih melayang sia-sia.

Mengapa franchise lokal banyak yang berguguran? Satu hal yang pasti, faktor kegagalan ini bisa datang dari pihak franchisor, franchisee, atau andil kedua belah pihak. Dari sisi franchisor, bisa karena bisnisnya belum "terbukti", tapi sudah diwaralabakan. Banyak juga franchisor yang tidak paham manajemen franchise, bahkan ada yang melakukan tindakan kontraproduktif terhadap bisnisnya. Di Amerika Serikat dan Malaysia, ada ketentuan pengusaha yang akan mewaralabakan bisnisnya minimal harus mempunyai 2-3 gerai serta harus telah beroperasi minimal setahun dengan posisi keuangan minimal sudah laba selama setahun terakhir.“Jadi, mereka sudah proven dan profit. Jangan sampai masih trial and error tapi sudah meminta franchisee mengikuti dia," ujar Lanny Kwandy, pemilik Bridge Franchise, Retail & Franchise Consultant. Nah, aturan seperti ini belum ada di Indonesia.

Di sisi lain, tidak jarang para investor franchise sangat bernafsu sehingga kurang menguji kelayakannya sebagaimana seharusnya. Dan yang sering dilupakan, mereka mengira membeli waralaba sama saja dengan melakukan investasi di produk tak bergerak, seperti tanah dan bangunan, yang tidak memerlukan upaya keras dalam mengelola. Padahal, meminang bisnis franchise tak ubahnya menjadi entrepreneur yang harus mengenal benar knowledge bisnis tersebut, termasuk mencari terobosan-terobosan untuk menggulirkan bisnisnya.

Kondisi demikian jelas tidak bisa dibiarkan, diperlukan payung hukum yang bisa melindungi kepentingan franchise ataupun franchisor-nya. Apalagi, seperti telah disinggung di depan, investasi di bisnis ini telah melibatkan dana triliunan rupiah. Siapa yang akan bertanggung jawab jika banyak waralaba berguguran dan investasi melayang?

Betapapun, bisnis franchise telah memberi sumbangan besar terhadap perekonomian Indonesia. Bisnis ini tidak saja menyerap banyak tenaga kerja, tapi juga telah melahirkan tak sedikit wirausaha, profesional dan profesi baru. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon investor franchise, tapi lebih untuk mengingatkan agar lebih waspada dan berhati-hati dalam menggeluti bisnis waralaba. Dengan taksiran omset yang menurut Anang Sukandar, Ketua Asosiasi Franchise Indonesia, mencapai US$ 6 miliar pada 2006, posisi negeri ini masih kalah jauh dari negara-negara tetangga. Dengan kata lain, Indonesia masih memerlukan banyak franchisor dan franchisee untuk memperkecil ketertinggalan.

Untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang bisnis waralaba, dalam Sajian Utama kali ini kami mengupas pelbagai topik, mulai dari potret terkini bisnis franchise di Indonesia, pengalaman sukses dan gagal franchisee, franchisee-franchisee yang tercepat mencapai pengembalian modal, analisis bisnis yang layak diwaralabakan, dan apa yang seharusnya dilakukan untuk mengelola bisnis franchise. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami juga menyajikan potret dan cara mengelola bisnis keagenan dan lisensi. (SWA)



0 comments:

Post a Comment